Diskusi mengenai perlunya undang-undang khusus yang mengatur grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi kembali mencuat setelah pernyataan Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas. Dalam pandangannya, undang-undang ini penting untuk menciptakan kepastian hukum dan prosedur yang transparan. Namun, isu ini menuai perdebatan, dengan argumen baik yang mendukung maupun menentang pengesahan regulasi baru tersebut.
Mengapa Regulasi Ini Dianggap Perlu?
Bagi para pendukung, undang-undang khusus ini dinilai sebagai langkah penting untuk mengatasi berbagai kelemahan dalam sistem hukum saat ini. Salah satu poin utama adalah kebutuhan akan kepastian hukum. Saat ini, aturan terkait grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi tersebar di beberapa peraturan, seperti UUD 1945, KUHP, dan peraturan pelaksana. Sayangnya, aturan-aturan tersebut tidak cukup rinci, sehingga sering memicu multitafsir.
“Tanpa aturan yang jelas, prosedur pemberian hak prerogatif seperti grasi dan amnesti rawan disalahgunakan. Kita memerlukan regulasi yang tidak hanya adil tetapi juga transparan,” ujar Menteri Supratman dalam pernyataan resminya.
Keberadaan undang-undang ini juga dianggap akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Dengan prosedur yang lebih transparan dan akuntabel, publik dapat memahami kriteria serta mekanisme pemberian hak tersebut, sehingga legitimasi hukum dapat diperkuat.
Namun, tidak semua pihak sepakat dengan gagasan ini. Sebagian kalangan berpendapat bahwa aturan yang ada saat ini sudah cukup memadai. Dalam pandangan mereka, masalah yang terjadi lebih disebabkan oleh lemahnya implementasi hukum, bukan karena kurangnya regulasi.
“Jika aturan yang ada saat ini diterapkan secara konsisten, maka tidak ada kebutuhan mendesak untuk membuat undang-undang baru. Fokus kita seharusnya pada penegakan hukum, bukan menambah kompleksitas regulasi,” ujar seorang pakar hukum dari Universitas Indonesia.
Selain itu, beberapa pihak juga mempertanyakan prioritas legislasi ini di tengah banyaknya masalah hukum lain yang mendesak, seperti reformasi peradilan dan pemberantasan korupsi. Mereka menilai bahwa energi legislasi lebih baik diarahkan pada isu-isu tersebut.
Dalam konteks global, beberapa negara telah memiliki regulasi khusus yang mengatur pemberian hak prerogatif ini. Di Amerika Serikat, misalnya, pemberian grasi oleh Presiden diatur secara rinci dalam hukum federal, termasuk prosedur aplikasi dan evaluasi. Hal ini memberikan transparansi sekaligus membatasi potensi penyalahgunaan.
Indonesia dapat belajar dari praktik-praktik terbaik ini untuk menciptakan sistem yang lebih terstruktur. Namun, pelajaran penting lainnya adalah bahwa keberadaan aturan yang baik harus didukung dengan kapasitas penegakan hukum yang memadai.
Mengingat pro dan kontra yang ada, solusi ideal mungkin adalah pendekatan yang bertahap. Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk:
1. Mengharmonisasi Regulasi yang Ada: Sebelum membuat undang-undang baru, penting untuk memastikan bahwa aturan yang ada dapat diintegrasikan secara lebih sistematis.
2. Fokus pada Implementasi: Penguatan implementasi aturan yang ada, termasuk pelatihan bagi aparat penegak hukum, harus menjadi prioritas utama.
3. Edukasi Publik: Masyarakat perlu mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang hak-hak ini dan bagaimana mekanisme yang berlaku.
Perdebatan mengenai perlunya undang-undang khusus tentang grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi mencerminkan tantangan sistem hukum di Indonesia. Di satu sisi, regulasi ini berpotensi menciptakan kepastian hukum dan meningkatkan kepercayaan masyarakat. Namun, di sisi lain, tanpa implementasi yang baik, regulasi baru hanya akan menambah tumpukan aturan tanpa dampak signifikan.
Keputusan untuk membuat undang-undang ini harus didasarkan pada analisis mendalam dan mempertimbangkan kebutuhan nyata masyarakat serta kapasitas hukum Indonesia. Apapun langkah yang diambil, tujuannya tetap sama: menciptakan sistem hukum yang lebih adil, transparan, dan terpercaya./
Oleh:
Adv. Atiqah Mumtazah Ameliah Bura Datu, S.H., M.H.
Advokat, Dosen STAI Balikpapan