MAKASSAR, KORANSULSEL – Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (Asperhupiki) Indonesia Fachrizal Afandi menyatakan Undang-undang Polri belum saatnya direvisi, karena akan berdampak terhadap sistem peradilan pidana.
Hal itu disampaikannya saat kegiatan Focus Group Discussion (FGD) terkait revisi Undang-undang tentang Kepolisian Republik Indonesia di aula Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa.
Ia berpendapat, banyak hal yang perlu dibahas dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Polri saat ini belum diatur dalam KUHAPidana. Hal ini dapat dilihat dalam draft RUU Polri.
“Seperti tambahan kewenangan penghentian penyidikan dan atau penyelidikan (pasal 16 ayat 1 huruf j), sedangkan dalam KUHAP tidak dikenal penghentian penyelidikan,” paparnya.
Selain itu, draf RUU disebutkan tugas Polri dalam pembinaan hukum nasional di pasal 14 angka 1 huruf e, kata dia, bertentangan dengan kewenangan yang melekat pada Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM atau Kemenkumham.
Hal lainnya, ada tambahan kewenangan melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan dan upaya perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri tanpa disertai penjelasan yang ketat seperti di pasal 16 ayat 1 huruf q dalam draf tersebut.
“Seharusnya upaya-upaya paksa ini dibahas dalam KUHAP bukan dalam RUU Polri dan dengan perintah Pengadilan,” tuturnya menekankan.
Fachrizal mengemukakan, dampak RUU Polri terhadap sistem peradilan pidana itu salah satunya, pengangkatan penyidik PNS dan khusus (Penyidik KPK, Jaksa) harus mendapatkan rekomendasi dari Polri.
Artinya, penyidik PNS dan khusus a harus mendapatkan surat pengantar dari penyidik Polri sebelum mengirimkan berkas ke penuntut umum sehingga menjadi tumpang tindih kewenangan, sehingga terjadi potensi ketidakpaduan proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan persidangan, karena aturan dibuat secara sektoral.
Bahkan upaya paksa dan penghentian penyelidikan dan penyidikan tanpa ‘check and balance’ serta kontrol pengadilan menjadikan masyarakat terdampak sulit mendapatkan keadilan.
Berdasarkan sekelumit permasalahan tersebut, kata Fachrizal, merekomendasikan agar sebaiknya menunda revisi UU Polri, apalagi dilakukan secara terburu-buru, karena itu perlu dilakukan pembahasan RUU Polri secara cermat pasca-pengesahan RKUHAP serta mencabut pengaturan terkait hukum acara pidana dalam RUU Polri.
Dekan Fakultas Hukum Unhas Prof Hamzah Halim menginginkan FGD revisi UU Polri ini ada sumbangsih pemikiran yang benar tidak bertentangan dengan hukum acara, sehingga menghasilkan aturan hukum yang ideal sebagai pedoman kepolisian yang lebih melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum.
Peneliti Institute For Criminal Justice Reform Iftitahsari dalam FGD tersebut juga merekomendasikan agar Presiden dan DPR RI untuk menunda pembahasan RUU Polri. Selanjutnya, pendalaman substansi soal mekanisme pengawasan atau oversight mechanism.
Komisi III DPR RI mesti memulai proses pembahasan untuk perubahan KUHAPidana pada program legislasi nasional prioritas DPR RI 2024, khususnya terkait semua materi hukum acara dalam RUU Polri. Targetnya, KUHAP baru bisa disahkan sebelum 2 Januari 2026 untuk diberlakukan, bukan dalam waktu dekat ini tanpa ada pengkajian. (ant/KS)